- Diposting oleh : Salafy Tasikmalaya
- pada tanggal : November 30, 2025
Menulis Adalah Terapi untuk Santri
"Abah, terima kasih sudah mengizinkan saya/kami untuk bercerita."
Begitu tulisan seorang santri Ma'had Daarul Atsar Tasikmalaya (Madasta) untuk tugas ekskul Kelas Menulis & Jurnalistik. Santri lainnya menuliskan, dengan adanya ekskul tersebut dia bisa bercerita tentang suatu hal yang sebelumnya belum pernah diceritakannya kepada siapa pun.
Alhamdulillah. Mulai Juli 2025, Madasta membuka beberapa ekskul. Salah satunya adalah Kelas Menulis & Jurnalistik.
Santri dan tulisan memang tak terlepaskan satu sama lain. Sebagai penuntut ilmu, tulisan mutlak dibutuhkan.
Imam Syafii rahimahullah berkata: "Ilmu itu ibarat hewan buruan. Sedangkan tulisan adalah tali yang akan mengikatnya. Ikat hewan buruanmu dengan tali yang kuat. Sungguh merupakan perbuatan yang konyol, kamu berhasil mendapatkan hewan buruan seekor kijang kamu biarkan lepas tanpa diikat."
Ini artinya santri harus menulis. Dibutuhkan keterampilan dalam menulis. Menulis adalah keterampilan yang bisa dilatih. Yang terpenting dalam menulis adalah kemauan -bukan kemampuan- untuk belajar menulis.
Dimaklumi jika masih banyak kesalahan dalam menulis, namanya juga belajar. Dimaklumi juga jika beberapa di antara santri ada yang menulis curahan hati (curhat). Justru patut diapresiasi karena berani menuliskan kejujuran isi hatinya. Apalagi menulis adalah terapi bagi anak/remaja.
Dikutip dari ChatGPT oleh OpenAI, dikonsultasikan pada Agustus 2025: Menulis -khususnya menulis perasaan, pengalaman, atau imajinasi- memberi ruang aman bagi anak/remaja untuk: (-) Mengungkapkan emosi yg sulit diucapkan; (-) Memproses pengalaman yg membingungkan atau menyakitkan; (-) Menemukan makna atau solusi dari masalah; (-) Meredakan tekanan batin karena pikiran yang “penuh” jadi tertata.
Bagi remaja yang cenderung tertutup atau sulit bicara, menulis bisa menjadi “jembatan” antara hati dan pikiran.
Di sana dijelaskan, menurut Expressive Writing Theory dari James W. Pennebaker: Menulis secara bebas tentang pengalaman emosional terbukti menurunkan tingkat stres, meningkatkan suasana hati, dan bahkan memperbaiki kesehatan fisik.
Mekanismenya: menulis membantu mengorganisir pikiran dan emosi, sehingga otak tidak terus-menerus “mengulang” masalah.
Menurut Emotional Catharsis Theory, menulis adalah bentuk “katarsis” atau pelepasan emosi. Teori ini menyebutkan bahwa mengekspresikan perasaan (daripada memendamnya) membantu mengurangi tekanan psikologis.
Kasus yang menimpa Bapak B.J. Habibie -Presiden RI ke-3- rahimahullah adalah contoh nyata dari terapi menulis. Seminggu setelah kematian istrinya, Ibu Hasri Ainun Habibie rahimahallah pada 22 Mei 2010, B.J. Habibie mengalami kesedihan mendalam. Saking sedihnya beliau hampir mengalami gangguan jiwa (mengalami kondisi psikosomatis serius).
Dokter yang merawat memberikan beberapa pilihan. Yakni: dirawat di rumah sakit jiwa, dirawat di rumah dengan tim medis, curhat kepada orang terdekat, atau menulis.
Bapak B.J. Habibie memilih pilihan terakhir. Menulis sebagai bentuk terapi emosional. “Sebulan pertama, saya menulis dengan terus menangis, mengenang istri yang sangat saya cintai,” kenang beliau.
Sebuah hasil penelitian menyebutkan menulis bisa menjadi salah satu bentuk terapi kejiwaan yang mudah dan efektif untuk mengurangi emosi negatif. Menuangkan perasaan, kegelisahan, dan emosi dalam bentuk tulisan dapat membantu menurunkan tingkat stres yang dialami seseorang.
(Abu Zakariyya Thobroni, Senin 5 Jumadilawal 1447/27 Oktober 2025)
https://t.me/geraifathimah
